Sebelum Aku Memutuskan Untuk Mati
Aku bertemu dengan sahabatku di surga.
Sudah lama kami tidak berjumpa dan aku sangat merindukannya. Terakhir kali aku melihatnya, ia dibawa ke sebuah tempat yang aneh. Tempat itu berupa tanah lapang yang luas sekali, ditumbuhi beberapa pepohonan berdahan rendah, dan memiliki banyak gundukan tanah. Ia digendong oleh ayahnya masuk ke dalam tanah. Setelah itu, tubuhnya ditimpa dengan tanah yang amat banyak hingga aku tidak bisa melihatnya lagi. Tetapi, itu sudah lama berlalu dan aku tidak peduli karena sekarang aku bersama dengannya.
“Aku tidak tahu ternyata pemandangan di bawah tanah seindah ini. Kenapa waktu itu, kamu tidak mengajakku?” sahutku setengah merajuk. Enak betul dia bermain sendirian di tempat yang asyik dengan teman-teman barunya dan dia melupakanku!
“Naya, kita tidak sedang berada di bawah tanah. Ini surga,” jawab sahabatku.
Aku bingung. “Ta-tapi, waktu itu, aku melihatmu dimasukkan ke bawah tanah.”
“Itu namanya dikubur.”
“Kamu dikubur?”
Sahabatku mengangguk. Entah mengapa, ia memandangku dengan raut muka yang sama bingungnya denganku.
“Sehabis dikubur, kamu sampai ke sini? Jadi dikubur adalah cara untuk bisa sampai ke surga?”
Sahabatku mengangguk lagi. “Kurang lebih begitu.”
Aku menjadi semakin bingung. “Lho, aku tidak dikubur. Tetapi, mengapa aku bisa sampai di surga juga?”
“Nah, itu juga yang ingin aku tanyakan,” ucap sahabatku. “Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?”
Aku mengingat kembali rentetan kejadian sebelum aku bersua dengan sahabatku, Baskara, di tempat yang ia sebut dengan surga ini.
“Tadi… aku tidur.”
Baskara mengernyitkan dahinya, persis seperti ayah ketika mencium bau busuk. Ia kemudian menarik tanganku dan membawa kami ke pinggir awan. Ya, di sekeliling kami hanya ada awan dan warna biru langit. Kami melayang di antara awan-awan.
“Apakah tidur juga salah satu cara untuk bisa sampai ke surga?” tanyaku lagi. Baskara menunjuk ke bawah awan.
Aku terkesiap. Di bawah sana, aku melihat diriku sendiri terbaring di atas ranjang. Di samping ranjangku, ada ibu dan ayahku yang sedang mengawasiku dengan raut muka prihatin.
Aku ingat sekarang. Sebelum bertemu dengan Baskara, aku masih berada di rumah sakit bersama ayah dan ibu (ada dokter dan perawat yang baik hati juga). Aku bertanya-tanya sudah berapa hari aku berada di rumah sakit sebelum akhirnya tiba di surga. Mungkin sekitar tiga hari?
“Benar, kan, aku sedang tidur,” kataku membela diri.
“Itu namanya koma.”
“Apa?”
“Ko-ma.”
“Koma bukannya tanda baca?”
“Bukan koma yang itu,” Baskara mulai gusar. “Itu artinya kamu sedang tidak sadarkan diri. Seperti pingsan. Kamu pernah pingsan, kan?”
Aku merasa bahwa Baskara sok tahu sekali. Mentang-mentang dia sudah kelas 6 Sekolah Dasar, sedangkan aku masih kelas 1. Tapi, ya, aku pernah pingsan sewaktu pelajaran olahraga di sekolah. Sebenarnya, aku lupa bagaimana rasanya pingsan. Namun sekarang, aku tahu bagaimana rasanya tidak sadarkan diri.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku pada Baskara. Ia berpikir sejenak. Ekspresinya ketika berpikir mirip sekali dengan ayahku.
“Kamu bisa memilih mau kembali ke bawah sana atau tetap di sini,” jawab Baskara.
“Tetap di sini!” kataku spontan dan girang. “Lalu, kalau aku sudah puas bermain, aku akan kembali ke bawah sana.”
“Bukan begitu. Aduh,” Baskara tampak kesal dengan jawabanku. Sama seperti sikap ayah ketika aku salah melakukan atau salah memahami sesuatu.
“Kamu tidak bisa bolak-balik ke surga sesuka hatimu,” kata Baskara lagi. “Kamu hanya bisa memilih salah satu. Kamu ingin kembali ke bawah sana bersama ayah dan ibumu, atau memilih tetap tinggal di surga?” Ia menjelaskan sepelan dan sesabar mungkin hingga akhirnya aku mengerti. Sayangnya, semakin aku mengerti, aku merasa semakin sedih dan kecewa.
“Kalau aku kembali bersama ayah dan ibu, nanti kita tidak bisa main bersama lagi.”
“Begitu juga sebaliknya. Kalau kamu memilih tetap di sini, kamu tidak akan bisa bertemu lagi dengan ayah dan ibumu,” kata Baskara melengkapi ucapanku.
Aku menatap ke bawah, ke arah ayah dan ibuku yang sedang menungguku bangun dari tidur. Maaf, maksudku, bangun dari koma. Wajah mereka tampak sedih dan lelah karena berhari-hari kurang tidur demi menjagaku di rumah sakit. Tetapi kemudian, aku teringat beberapa sikap buruk mereka kepadaku setiap kali aku melakukan tindakan yang tidak menyenangkan menurut mereka. Ibu yang pernah mencubit lenganku sampai biru, menendang pantatku, mengunciku di kamar mandi, dan memukulku dengan gantungan baju atau sapu. Ayah, sepanjang yang kuingat, hanya pernah menamparku. Aku jadi merasa lebih ingin tinggal di surga bersama Baskara.
“Tapi, di bawah sana, aku tidak punya sahabat.”
Baskara terlihat kaget mendengar pernyataanku. “Di sini, kamu tidak punya orang tua!”
“Lalu kenapa?” tanyaku dengan nada menantang. “Ini surga, kan? Kata Ibu Guru, aku bisa mendapatkan apa saja yang aku inginkan di surga. Kalau aku minta orang tua baru yang lebih baik daripada ayah dan ibu, pasti akan dikabulkan, kan?”
Baskara hendak memprotes, namun aku sudah lebih dulu melanjutkan kata-kataku. “Kamu bohong! Tadi kamu bilang, aku tidak akan bisa bertemu lagi dengan ayah dan ibuku kalau aku memilih tinggal di surga. Padahal aku pernah melihatmu mengunjungi ayah dan ibumu di rumah setelah kamu dikubur. Artinya, walaupun aku tinggal di surga, aku juga masih bisa mengunjungi ayah dan ibuku, kan?”
Tiba-tiba, Baskara menangis. Aku panik, takut kata-kataku terlalu kasar sehingga menyakiti hatinya. Ia membenamkan mukanya ke lengan kanannya. Sambil terisak, ia berkata, “Aku merindukan ayah dan ibuku.”
Aku lega perkataanku tidak membuatnya menangis. Ia menurunkan tangannya dan melanjutkan, “Walaupun setelah di surga nanti, kamu bisa mengunjungi ayah dan ibumu, mereka tidak akan bisa melihatmu.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kamu sudah mati.”
Aku terkejut mendengarnya. “Berarti kamu sudah mati?”
“Kamu bahkan tidak tahu apa artinya ‘dikubur’!” Nada bicara Baskara meninggi. Ia sepertinya sudah benar-benar kesal dengan kepolosanku.
Meskipun Baskara terlihat kesal, aku tidak takut. Berbeda dengan ketika aku melihat ayah atau ibu sedang kesal. Mereka berdua benar-benar membuatku takut. Mungkin karena Baskara tidak pernah memukul atau menamparku.
Aku bergumam kepada diriku sendiri, “Dikubur artinya mati. Oh, aku ingat. Dulu sewaktu Olivia dikubur, ia juga sudah mati.” Olivia adalah nama anak ayam peliharaanku yang ayah beli di pasar kaget.
“Iya! Benar! Mati seperti Olivia!” Baskara masih terisak. Nada bicaranya terdengar jauh lebih kesal daripada sebelumnya.
“Kalau begitu, aku memutuskan untuk mati,” ucapku tenang.
Baskara berhenti terisak. Ia melihatku dengan tatapan pasrah. Walau begitu, ia tetap bertanya, “Kenapa?”
“Menurutmu, kenapa aku lebih baik kembali ke bawah sana?” aku bertanya balik.
“Kamu tidak mau tinggal bersama ayah dan ibumu?” Baskara menanggapi pertanyaanku dengan pertanyaan.
Aku menggeleng. Baskara menatapku keheranan. Aku tahu ia iri denganku. Dulu, sewaktu ia mati, ia tidak sempat mengalami koma sepertiku. Ia tidak punya pilihan sepertiku. Pilihannya hanyalah tinggal di surga selamanya. Kalau saja dulu ia bisa memilih untuk tinggal di surga atau tinggal bersama ayah dan ibunya, ia pasti akan memilih pilihan kedua. Menurutku, hal itu wajar karena ayah dan ibu Baskara baik kepadanya, tidak seperti ayah dan ibuku. Ayah dan ibu Baskara selalu berbicara dengan nada yang lembut. Mereka tidak pernah marah atau membentak Baskara meskipun ia melakukan tindakan yang tidak menyenangkan menurut ayah dan ibuku. Orang tua Baskara juga tidak pernah memukul, menendang, mencubit, atau menampar pipinya hingga merah. Aku membayangkan betapa beruntungnya Baskara memiliki orang tua seperti orang tuanya.
Sebagai teman dekatnya, aku juga punya banyak kenangan baik dengan orang tua Baskara. Misalnya saja, mereka selalu menyambutku dengan hangat setiap kali aku bermain di rumah mereka. Mereka juga tidak segan mengantarku pulang kalau ayah atau ibuku belum menjemputku di sekolah. Ibu Baskara bahkan selalu menyuapi kami, aku dan Baskara, kalau aku bermain di rumah mereka hingga lewat jam makan siang. Masakannya terasa lebih enak daripada masakan ibuku. Mungkin karena ibunya memasak dengan penuh kasih sayang, sedangkan ibuku memasak dengan penuh emosi. Pernah juga kala kami pergi ke pasar malam bersama, ayah Baskara membelikanku boneka gajah berwarna merah jambu yang sangat besar.
Sebaliknya, setiap kami bermain di rumahku, ibuku tidak pernah menawari Baskara makan siang. Ia justru lebih sering melihat ibuku murka jika kami terlalu berisik atau bermain terlalu lama hingga lewat jam tidur siang.
Suatu hari, aku pernah bertanya kepada Ibu Guru di sekolah, mengapa ayah dan ibuku selalu marah-marah kalau aku berbuat nakal. Kata Ibu Guru, ayah dan ibuku memarahiku semata karena mereka sayang kepadaku. Kemudian aku bertanya lagi, kalau begitu, artinya orang tua Baskara tidak sayang kepadanya karena ia tidak pernah dimarahi orang tuanya. Ibu Guru menjawab dengan mengatakan bahwa semua orang tua pasti sayang kepada anaknya, hanya saja caranya berbeda. Lalu aku bertanya lagi, apakah Ibu Guru mau menjadi orang tuaku. Katanya, semua guru di sekolah adalah orang tua kedua bagi murid-muridnya. Aku senang dengan jawaban Ibu Guru. Namun sekarang, aku menyesal sudah bertanya seperti itu kepada Ibu Guru. Seharusnya, aku bertanya, “Apakah Ibu Guru mau menggantikan orang tuaku?”.
Meskipun keputusanku untuk tinggal di surga terdengar tidak masuk akal bagi Baskara, aku tetap berusaha memberitahukan alasanku. “Di sini, aku bisa bermain sepuasnya. Aku bisa belajar sepuasnya kalau aku mau. Aku bisa makan dan minum sepuasnya sampai kekenyangan, atau tidak makan dan minum sampai aku kelaparan. Aku bisa berbuat apa saja sesuka hatiku tanpa ada yang memarahiku. Tidak akan ada yang memukul atau menamparku kalau aku jadi anak bandel. Benar, kan?”
Baskara kembali tercengang dengan jawabanku. Namun, aku tahu ia memahaminya. Ia mengenal ayah dan ibuku sama seperti aku mengenal ayah dan ibunya. Aku tahu ia mendengar suara tangisanku setiap kali ayah atau ibu menghukumku. Aku tahu ia selalu mendengar setiap kali ayah dan ibu memarahiku. Aku tahu ia selalu tahu.
“Kamu pernah melihat ayah dan ibumu menangisi kematianmu?” Aku tahu pertanyaan ini bertujuan untuk menguji keyakinanku.
“Tidak. Aku, kan, belum pernah mati.”
“Benar juga,” Baskara menyadari ia mengajukan pertanyaan yang salah. Maka, ia mengganti pertanyaannya. “Kamu pernah melihat orang tuamu menangis?”
Aku berusaha mengingat. “Tidak.”
“Dulu, sewaktu aku meninggal, aku melihat ayah dan ibuku menangis. Bahkan sampai tujuh hari kemudian, mereka masih menangis setiap kali mengingatku.”
Aku menggenggam tangan Baskara untuk menenangkannya. Ia sudah berhenti menangis, tetapi air mukanya masih menunjukkan kesedihan.
“Ayah dan ibumu pasti merindukanmu juga,” kataku penuh simpati.
Baskara mengangguk. “Kamu janji tidak akan sedih ketika nanti melihat orang tuamu menangisi kematianmu?”
Aku berpikir sejenak, lalu menjawab, ”Mungkin sedih. Tapi setelah itu, tidak lagi.”
“Kamu tidak akan merindukan orang tuamu?” tanyanya lagi.
“Kita bisa mengunjungi mereka kapan saja, kan?” tanyaku balik. “Hei, ayo kita mengunjungi ayah dan ibu kita bersama! Nanti, ya, kalau aku sudah mati.”
Anehnya, aku malah terdengar gembira. Padahal sebentar lagi, aku akan mati.
“Benar. Tapi, kamu tidak akan bisa menyentuh mereka dan mereka tidak akan bisa melihatmu.”
Mendadak, aku menyadari sesuatu. “Kita jadi seperti hantu yang ada di film?”
“Iya,” jawab Baskara singkat.
“Keren.”
Akhirnya, setelah menguji keyakinanku dengan beberapa pertanyaan lagi, ia mengatakan, “Baiklah kalau itu pilihanmu. Semoga kamu tidak menyesal.”
“Tidak akan,” sahutku sambil tersenyum. Aku senang ia bisa memahami alasanku untuk tetap tinggal di surga bersamanya.
Baskara lalu menggandeng tangan kiriku. Ia menundukkan kepalanya sambil memejamkan mata. Ia berdoa, “Semoga ayah dan ibumu ikhlas menerima kematianmu.”
Aku mengikuti yang ia lakukan. Tetapi, doaku sedikit berbeda dengan doanya. Aku berdoa agar ayah dan ibuku menjadi orang tua yang lebih bijak.
Comments
Post a Comment