Halusinasi Hana
Sejak kecil, aku selalu bisa berbicara dengan benda mati. Dulu, ayahku menganggap kemampuanku ini hanya sebatas imajinasi anak-anak. Toh, kalau aku sudah besar nanti, kebiasaan aneh ini akan hilang sendiri. Begitu katanya.
Namun ternyata, ia salah. Aku tetap berbicara dengan benda mati sampai saat ini. Bagiku, mereka tidak ada bedanya dengan makhluk bernyawa.
Kalau kalian ingin tahu bagaimana rasanya bisa berkomunikasi dengan benda mati, kuberitahu, rasanya tidak selalu enak. Aku sering mendengar suara-suara mereka di dalam kepalaku dan itu sangat menjengkelkan. Contohnya, uang di dalam dompetku yang terus-menerus minta dibelanjakan. Persis seperti adegan dalam kartun SpongeBob Squarepants ketika uang Tuan Krabs ramai-ramai berseru, “Belanjakan kami, belanjakan kami.”
Aku juga benci berada di tempat yang memiliki banyak benda mati, seperti museum, kantor, rumah sakit, sekolah, dan yang paling mengerikan, tempat pembuangan akhir yang berisi tumpukan benda-benda mati setinggi gunung. Kepalaku pasti akan langsung bising, penuh dengan suara benda mati. Pernah suatu hari, sewaktu aku masih SD, aku dan teman-temanku pergi mengunjungi museum seni dalam rangka karyawisata. Sejujurnya, aku tidak ingat apa saja yang kami lakukan di sana, sebab aku pingsan setelah 10 menit berada di dalamnya. Yang kuingat hanyalah suara dari benda-benda seni yang saling menyombongkan diri dan merendahkan karya seni lain.
“Akulah karya seni paling indah di museum ini,” kata sebuah patung wanita.
“Tidak mungkin! Bagian wajahmu rompal begitu, bagaimana bisa disebut indah? Jelas aku yang paling indah di sini,” timpal patung yang membawa gada di tangannya.
“Kalian seharusnya malu. Lihatlah orang-orang yang berkerumun di depanku ini. Mereka mengantri ingin melihatku. Itu artinya, akulah karya seni yang paling indah di museum ini,” ujar sebuah lukisan usang dari abad pertengahan.
Begitulah kira-kira percakapan yang kudengar di kepalaku. Pertengkaran barang-barang kuno itu terus berlanjut seperti itu hingga akhirnya aku tidak tahan lagi mendengarnya.
Yang paling menyebalkan, aku kerap kali tidak bisa tidur karena suara-suara benda mati yang terus menggangguku. Ranjangku mengatakan kalau di bawahnya ada monster. Gulingku berkata ia mendengar cerita dari leluhurnya bahwa dahulu pernah ada sebuah guling yang berubah menjadi hantu pocong. Kasurku memarahi mereka semua. Diam kalian, katanya, biarkan anak ini beristirahat. Selimut dan bantalku juga ikut-ikutan membelaku. Mereka berkata, jangan dengarkan ranjang dan guling, mereka itu pembual. Namun, ranjang dan gulingku tidak mau kalah. Mereka bersikeras bahwa cerita itu bukan bualan. Kasus monster di bawah ranjang dan guling yang berubah menjadi hantu benar-benar pernah terjadi.
Saat itu, kepalaku rasanya sudah hampir meledak karena ocehan mereka yang tiada henti. Jadi, aku berteriak kencang sekali hingga ayahku terbangun. Ayah bergegas menghampiriku dan bertanya apa yang terjadi. Sambil menangis ketakutan, aku bilang, aku tidak mau tidur di kamarku lagi. Benda-benda itu terlalu gaduh. Aku hanya ingin istirahat dengan tenang dan sunyi. Akhirnya, malam itu, Ayah membantuku mendirikan tenda kecil di taman belakang rumah. Aku langsung tertidur begitu masuk ke dalam tenda.
Esok harinya, ayahku memindahkan ranjang, guling, dan beberapa benda yang menurutku terlalu berisik sehingga benda yang ada di kamarku hanyalah kasur, selimut, dan lemari pakaian. Walaupun kamarku jadi tampak sepi, aku justru merasa jauh lebih nyaman. Aku tidak perlu lagi mendengarkan pertengkaran benda-benda mati di sekitarku. Semakin sedikit barang yang ada di kamarku, maka semakin bagus. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa aku jauh lebih suka berada di alam. Gunung, hutan, pantai, laut, taman, perkebunan. Tempat-tempat itu minim benda mati dan lebih banyak menampung makhluk hidup, sehingga aku tidak perlu mendengar suara ribut mereka.
Suatu hari, ayahku meminta pendapatku, bagaimana kalau aku pindah sekolah. Hal pertama yang aku katakan adalah kenapa. Ayah menjelaskan kalau sekolah yang baru nanti akan lebih bagus daripada sekolahku yang lama. Ayah juga yakin aku akan menyukai sekolah baruku. Aku bertanya lagi, apakah aku akan punya teman di sekolah yang baru karena selama ini, aku tidak pernah punya teman di sekolah. Teman-teman dan guru-guru selalu mengataiku aneh sebab aku kerap bicara dengan benda mati. Ayah menjawab keraguanku dengan mengatakan tentu saja kamu akan punya teman. Tetapi, aku masih bimbang, bagaimana kalau aku dicap sebagai anak aneh lagi. Tiba-tiba, ayah tertawa dan berkata, tidak akan ada yang berani mengataimu aneh karena Ayah juga akan menjadi pengajar di sana. Aku langsung setuju dan tidak sabar untuk segera pindah sekolah.
Selama ini, aku bertanya-tanya mengapa dari dulu aku tidak sekolah di tempat ayah mengajar saja. Namun setiap kali aku menanyakan hal itu, Ayah pasti akan menjawab dengan istilah-istilah yang tidak aku pahami, seperti mengganggu objektivitas, menimbulkan konflik kepentingan, dan takut dikira nepotisme. Masa bodoh dengan alasan-alasan tidak masuk akal itu. Yang penting sekarang aku bisa bertemu Ayah setiap hari.
Sekolah baruku bisa dibilang cukup eksklusif. Aku sebut “eksklusif” karena menyebutnya “aneh” akan terdengar agak kasar. Ini karena jumlah muridnya sedikit sekali. Di kelasku saja muridnya hanya enam orang. Meski begitu, kelas kami dibimbing oleh dua orang guru. Itu artinya, satu orang guru menangani tiga murid. Eksklusif, bukan?
Teman-teman sekelasku juga tidak kalah eksentrik. Aku sebut “eksentrik” karena menyebut mereka “aneh” akan terdengar agak kasar. Misalnya saja teman baruku yang bernama Ratu. Pada hari pertama masuk sekolah, ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang putri dan ayahnya baru dilantik menjadi raja beberapa bulan lalu. Orang-orang mungkin akan berpikir kalau Ratu sedang berkhayal. Tapi, aku cukup percaya dengan omongannya karena penampilan Ratu yang benar-benar terlihat seperti seorang bangsawan. Ia mengenakan tiara kecil di atas kepalanya, dua anting yang selalu tampak berkilau di telinganya bila terkena sinar matahari, dan seragamnya yang terlihat paling bersih dan rapi dibandingkan teman-temannya yang lain. Yang paling mencolok dari semua itu adalah pita berwarna putih yang kelewat besar di sekeliling lehernya, membuatnya kelihatan seperti kado ulang tahun. Meskipun aksesorisnya yang terakhir ini agak norak, menurutku pita itu terlihat keren di lehernya.
Aku pernah membicarakan Ratu bersama Ayah sewaktu jam istirahat. Kata Ayah, orang tua Ratu dulunya kaya raya. Namun karena suatu insiden, bisnis keluarganya mendadak bangkrut. Harta mereka habis dengan cepat dan semenjak itu, keadaan mereka berbalik 180 derajat. Ibunya jatuh sakit hingga meninggal dunia. Bahkan semua karyawan, kerabat, dan kolega mencampakkan mereka. Alhasil, ketika Ratu mulai memiliki keinginan untuk menjadi putri raja, ayahnya mengirimnya ke sekolah eksklusif ini.
Selanjutnya, ada Seli, gadis yang gemar membawa pot ke mana pun ia pergi. Pada hari pertama sekolah, Ibu Guru menjumpainya sedang memeluk pot tanaman janda bolong di halaman belakang. Ibu Guru menyapanya dan bertanya apa yang sedang ia lakukan. Katanya, ia sedang menjadi pot. Ia bersikeras hendak membawa pot janda bolong yang besar dan berat itu ke dalam kelas. Kalau tidak, ia tidak mau sekolah. Ibu Guru kemudian menghabiskan waktu sepanjang pagi untuk membujuknya agar mau membawa pot bunga yang kecil saja. Jadilah sekarang ia membawa pot berisi bunga lavender ke mana-mana.
Menurut penuturan Ayah, peristiwa yang dialami Seli sebelum pindah ke sekolah ini cukup tragis. Ia diperkosa oleh mantan pacarnya hingga hamil dan diusir dari rumah oleh orang tuanya yang merasa malu dengan kehamilannya di luar nikah. Ia sebenarnya sempat meminta tolong kepada Pak RT dan Bu RT di dekat tempat tinggalnya. Pasutri itu setuju menampungnya di rumah mereka untuk sementara waktu. Mereka juga berjanji akan membantunya melaporkan mantan pacarnya yang tidak bertanggung jawab itu ke polisi. Namun nahas, malam itu, ia malah diperkosa untuk kedua kalinya oleh Pak RT. Seli yang trauma berat dengan kejadian itu, memilih untuk kabur dari rumah Pak RT hingga warga menemukannya hendak mengakhiri hidup di dekat rel kereta. Warga yang baik hati lantas membawanya ke kantor polisi. Untungnya, salah satu polisi di sana adalah teman baik Ayah, sehingga ia memutuskan untuk mengantarkan Seli ke sekolah eksklusif ini. Kalau kalian bertanya di mana bayi Seli sekarang, ia keguguran tidak lama setelah pindah sekolah.
Aku sangat sedih mendengar kisah masa lalu Seli. Tapi, aku juga merasa lega karena ia akhirnya bertemu dengan Ayah dan memiliki lingkungan yang jauh lebih baik di sekolah ini. Ayah benar bahwa sekolah ini memang lebih baik dibandingkan sekolah lamaku. Aku punya teman-teman baru dan guru-guru yang memahami kebiasaan unikku. Mereka sama sekali tidak pernah menghakimiku dan bahkan menganggap kebiasaanku sebagai sesuatu yang keren. Itu membuatku semakin betah belajar di sekolah baru.
Ayah kemudian menanyakan bagaimana teman-teman baruku. Aku bilang, aku menyukai Ratu karena ia gadis yang luar biasa ramah dan rendah hati, meskipun ia seorang putri raja. Kami bahkan langsung akrab sejak hari pertama sekolah. Aku juga senang berteman dengan Seli karena baunya wangi seperti lavender, meskipun ia tidak memperbolehkan siapa pun menyentuh pot bunganya. Ayah juga bertanya apakah aku berteman baik dengan anak laki-laki di kelas. Aku sebetulnya belum mengenal mereka dengan baik. Aku hanya memperhatikan kebiasaan mereka selama di dalam kelas.
Yang pertama, Issa. Anak laki-laki yang rambutnya agak gondrong itu menganggap dirinya adalah daun pintu. Ia berdiri di depan pintu kelas sepanjang waktu. Kalau ada orang yang membuka atau menutup pintu, ia akan ikut bergerak ke arah yang sesuai dengan gerakan daun pintu. Ia juga hampir tidak pernah bicara. Meski begitu, aku tahu kalau ia memperhatikan semua hal yang kami bicarakan di kelas.
Berikutnya, Aru. Ia mungkin adalah murid laki-laki paling tampan di kelasku. Sayangnya, ia memiliki kebiasaan yang menjijikkan, yaitu ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melahap serangga yang lewat di depan matanya. Ya, ia senang memakan serangga. Karena kebiasaannya ini, ia menjadi murid yang paling ketat diawasi oleh Pak Guru. Setiap kali aku melihat ke arahnya, ia pasti sedang memperhatikan semut yang berjalan di dinding atau lalat yang terjebak di kusen jendela. Terkadang, aku kasihan melihat raut mukanya yang tampak tersiksa karena dilarang makan serangga di sekolah. Aku sempat membayangkan kalau saja Aru adalah seekor bunglon, ia pasti sudah mencaplok serangga-serangga itu dengan mudah.
Yang terakhir, Bruno. Aku menyebutnya Si Muka Masam karena raut wajahnya yang terlihat seperti orang sedang marah. Ia sepertinya membenci kami semua. Ia selalu mengeluh kepada Pak Guru karena Issa dan Aru sama sekali tidak bisa diajak berkomunikasi. Tetapi, aku merasa bahwa orang yang paling ia benci di kelas adalah aku. Sebaliknya, orang yang paling aku benci di kelas adalah Bruno. Sikapnya sama persis seperti teman-teman di sekolah lamaku. Setiap hari, ia akan menyuruhku untuk mencoba bicara dengan Issa karena ia adalah pintu. Ayo, katanya kamu bisa bicara dengan benda mati, begitu ejeknya. Aku sudah terbiasa menerima hinaan semacam itu sejak dulu, jadi aku tidak peduli. Aku berpendapat bahwa Bruno agaknya tidak cocok belajar di sekolah eksklusif ini. Itulah mengapa ia sangat benci dengan kami. Ia seharusnya bergabung bersama teman-temanku di sekolah lamaku.
Berdasarkan cerita Ayah, Issa dulunya anak yang pintar. Tetapi, di balik prestasinya yang cemerlang, ia sesungguhnya merasa tertekan dengan aturan orang tuanya yang sangat ketat. Nilai pelajarannya di sekolah tidak boleh lebih rendah dari 95 atau ia akan dihukum dengan cara berdiri di depan pintu sampai orang tuanya merasa Issa sudah cukup menyesal. Hukuman itu bisa berlangsung selama berjam-jam. Bahkan pernah suatu ketika, Issa ketahuan mengantuk saat sedang dihukum, sehingga hukumannya ditambah menjadi lima jam.
Aku berkomentar, itu gila. Bagaimana bisa ia harus selalu mendapat nilai di atas 95 di semua mata pelajaran? Ayah yang sepemikiran denganku pun ikut berkomentar bahwa orang tua Issa memang gila. Tapi baguslah, sekarang Issa tidak akan menerima hukuman lagi dari orang tuanya.
Ada yang lebih gila ketimbang orang tua Issa, ujar Ayah. Siapa, tanyaku. Orang tua Aru. Mereka mengurungnya di dalam gudang yang sangat gelap dan banyak dihuni serangga. Mereka juga tidak memberinya makan ataupun minum sehingga ia terpaksa memakan serangga dan tikus yang berkeliaran di dalam gudang itu. Ia juga pernah meminum air kencingnya sendiri saking hausnya. Penderitaannya baru berakhir saat ia diselamatkan oleh polisi setelah ada tetangganya yang melapor gara-gara mereka mencurigai perilaku orang tua Aru.
Aku tidak bisa lagi menahan air mataku sewaktu Ayah menceritakan kisah Aru. Malang sekali nasib Aru yang harus tinggal bersama orang tua zalim seperti itu, batinku. Di sisi lain, aku takjub karena ayahku ternyata tahu latar belakang dari semua teman-teman baruku, kecuali Bruno. Ayah tidak pernah cerita soal Bruno bukan karena aku membenci anak itu, tapi karena memang Ayah tidak tahu. Yah, itu tidak masalah. Aku juga tidak peduli dengan Bruno.
Pagi ini, tiba saatnya kami belajar di luar kelas. Ibu Guru dan Pak Guru dengan kompak membimbing kami menuju taman di samping sekolah. Taman itu cukup luas, dengan beberapa bangku di sekelilingnya, pohon besar di sisi barat taman (yang menurutku akan sangat cocok untuk tempat berteduh sambil membaca buku di siang hari), dan sebuah patung dari batu yang dikelilingi oleh kolam ikan.
Pak Guru, seperti biasa, sibuk mengawasi Aru dengan kewaspadaan tingkat tinggi karena di taman ini ada banyak sekali serangga yang menarik perhatiannya. Semut, kupu-kupu, tawon, laba-laba kecil, ulat, rayap, nyamuk. Taman ini pasti bagaikan surga dunia bagi Aru. Namun sekejap kemudian, surga itu berubah menjadi neraka ketika ia melihat ke arah Pak Guru. Mukanya langsung kecewa.
Issa, yang ngotot tidak mau meninggalkan pintu kelas, akhirnya diizinkan untuk berdiri di pintu keluar dekat taman. Ia berdiri mematung di sana dengan tatapan kosong. Sementara Bruno, yang tidak bisa berkawan dengan siapa pun, menggerutu di sudut taman sembari memandangi kami semua dengan mata penuh kebencian. Melihat itu, Ibu Guru memberitahu aku, Ratu, dan Seli bahwa ia akan menemani Bruno mengobrol.
Maka, kami bertiga dibebaskan untuk melakukan apa saja di taman, selama itu bukan hal yang membahayakan, misalnya membakar pohon. Dari semua kegiatan yang bisa dilakukan di taman, kami memilih untuk menguji kemampuanku dengan cara memintaku berbicara dengan patung yang ada di tengah taman.
“Apa yang dia katakan?” tanya Ratu antusias.
Aku memperhatikan patung batu berwujud wanita itu dengan saksama. Pahatannya halus sekali. Rambutnya yang bergelombang tampak serasi dengan gaun panjangnya. Ia dipahat dengan pose seperti hendak meraih sesuatu. Tangan kanannya terangkat ke atas, tangan kirinya dirapatkan ke tubuhnya, dan kakinya dalam posisi jinjit. Aku tidak terlalu memahami seni, tapi entah mengapa, patung itu secara keseluruhan terlihat cantik dan realistis. Seperti manusia sungguhan.
Tunggu. Mengapa aku tidak bisa mendengar suara apa pun dari patung itu?
Aku mulai bingung. Apakah kemampuanku jadi tumpul? Aku pun mencoba mengajak bicara bangku-bangku terdekat dan menanyakan sejak kapan patung itu ada di taman ini. Sebuah bangku di dekat kami merespons dengan jawaban, baru dua minggu yang lalu, dan bangku-bangku yang lain mengiyakan.
“Ada apa?” tanya Seli yang memperhatikan raut kebingunganku.
“Ini aneh. Aku tidak bisa mengajaknya bicara,” kataku.
Ratu sedikit terkejut, tapi ia menyahut dengan santai, “Tidak apa-apa. Ayo kita duduk-duduk sebentar, barangkali Hana capek.”
Aku menatap mata patung itu, siapa tahu kali ini ia mau mendengarkanku. Benar saja. Di sana, di salah satu mata itu, aku melihat sesuatu yang ganjil. Setetes cairan.
“Itu…” aku menunjuk ke arah mata patung itu. Ratu dan Seli mengikuti jari telunjukku. Seketika, ekspresi mereka berubah menjadi ngeri. Detik berikutnya, setetes cairan itu jatuh ke dalam kolam. Kami bertiga menyaksikan selama sepersekian detik ketika setetes cairan dari mata patung itu mengubah warna air kolam menjadi merah. Aku tahu mengapa patung itu tidak bisa kuajak bicara.
Lalu, kami menjerit ketakutan.
Comments
Post a Comment