Gadis Dalam Cermin

Vivian duduk di depan meja riasnya, menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gadis yang sama seperti yang ia lihat setiap hari, dengan wajah ovalnya, rambutnya yang hitam sebahu, kulit kuning langsat, hidung kecil bangir, bibirnya yang masih berwarna merah karena lipstik, dan matanya yang terbingkai kacamata, yang sering dibilang orang seperti mata kucing—yang ujungnya naik ke atas. Saat sedang bercermin seperti ini, Vivian merasa dirinya paling cantik. Ia membayangkan cermin yang ada di hadapannya itu adalah cermin ajaib seperti milik The Evil Queen dalam film Snow White, kemudian ia akan pura-pura bertanya,”Wahai Cermin Ajaib, siapa wanita paling cantik di dunia ini?” Meskipun ia tahu kalau cermin miliknya akan tetap bergeming.

Ia melepas kacamatanya, mengambil dua lembar kapas dan meneteskan cairan pembersih ke atasnya, lalu mulai menghapus riasan wajahnya pelan-pelan. Vivian mendekatkan kepalanya ke cermin. Di balik bedaknya yang mulai luntur, ia dapat melihat pori-pori kecil di ujung hidungnya, tahi lalat di pelipisnya, dan beberapa bintik kecoklatan di sekitar tulang pipinya. Ia mengganti kapasnya dengan yang baru dan mengulangi cara yang sama untuk menghapus sisa riasan. Setelah merasa wajahnya cukup bersih, Vivian melemparkan kapas kotor itu ke tempat sampah di samping meja riasnya. Ia memandangi dirinya di dalam cermin sekali lagi sambil memastikan bahwa tidak ada sisa makeup yang masih menempel di kulitnya.

Mendadak, ia menyadari hal aneh terjadi. Refleksi dirinya di dalam cermin itu tiba-tiba tersenyum, padahal ia tidak sedang tersenyum. Vivian terkejut. Ia mendorong meja riasnya, yang mengakibatkan dirinya terdorong ke belakang. Untung ia masih dalam posisi duduk dan tidak jatuh dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang karena kaget. Apa itu tadi? batinnya. Cepat-cepat ia mengambil kacamatanya yang masih tergeletak di atas meja rias dan mengenakannya. Mungkin ia tadi salah lihat.

“Hai.”

Kali ini Vivian benar-benar melihat bayangannya di dalam cermin itu menggerakkan bibir. Suaranya terdengar lirih. Bukan, gadis itu memang berbisik. Gadis di dalam cermin itu menyapanya. Vivian memekik pelan. Ia merasakan seluruh tubuhnya merinding.

“S-siapa kamu?” Vivian memberanikan diri untuk berbicara. Aneh rasanya mengobrol dengan pantulan dirinya sendiri. Namun, ia merasa gadis di dalam cermin itu bukanlah dirinya. Apakah ia hantu yang tinggal di dalam cermin, seperti cerita-cerita horor yang sering ia tonton di film?

Gadis itu tersenyum lagi. “Aku adalah gabungan dari rasa takutmu, rasa bersalahmu, rasa sakit hatimu, dan segala rasa penyesalanmu. Aku adalah bagian dari dirimu.” Suara gadis itu mirip dengan suara Vivian, tetapi lebih berat. Nada bicaranya datar tetapi tegas.

Vivian menatapnya dengan bingung, ”Apa maksudmu?”

“Kamu tidak ingat kejadian yang membuatmu memiliki perasaan-perasaan itu?”

Vivian diam sebentar, berpikir. "Kejadian apa? Yang mana?"

"Baiklah. Tidak apa-apa kalau kamu tidak ingat." Senyum di wajah gadis itu berubah menjadi sinis. “Akan aku bantu kamu mengingat." Ia mulai bercerita, "Dulu, ibumu punya penyakit epilepsi dan ayahmu yang mengurus semuanya. Setiap kali ibumu kambuh, ayah selalu ada untuk menenangkan ibu sampai kejangnya berhenti. Ayah sangat sayang pada ibumu, ia tahu benar caranya menangani orang epilepsi. Sayangnya, ayahmu tidak pernah memberitahumu caranya. Suatu hari, epilepsi ibumu kambuh dan pada saat itu, hanya ada kamu. Hanya kamu yang bisa menolong ibumu, tapi kamu tidak tahu caranya. Kamu panik. Sialnya, ayahmu sedang tidak di rumah. Kamu cuma mengguncang-guncang ibumu sambil ketakutan, sampai akhirnya ibumu meninggal karena lidahnya menghalangi jalan napasnya.”

Gadis itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Sejak itu, kamu jadi merasa bersalah. Kamu menganggap ibumu mati karena dirimu.”

Vivian memandang ngeri ke arahnya. “Dari mana kamu tahu?” Lagi-lagi, gadis itu hanya tersenyum.  

“Ada lagi,” katanya. “Di masa sekolah, kamu jadi bahan olokan teman-temanmu karena dulu kamu gendut. Yang lebih menyakitkan lagi adalah kamu diperlakukan seperti sampah oleh gurumu sewaktu SMP. Masih ingat kenapa? Hanya karena kamu pernah bolos di kelasnya gara-gara latihan untuk Olimpiade Matematika. Gurumu lantas mengataimu sombong di depan teman-teman sekelasmu. Selama jam pelajarannya pada hari itu, ia habiskan hanya untuk mempermalukanmu. Itu adalah hari dimana kamu mulai merasakan sakit hati.”

“Kamu ini sebenarnya siapa?” tanya Vivian tajam. Ia mulai kesal dengan gadis di dalam cermin itu.

“Sudah kubilang, kan. Aku ini bagian dari dirimu,” jawab gadis itu. “Aku tahu semuanya tentang kamu. Aku punya ingatanmu. Aku tahu apa yang kamu rasakan.”

“Bukan, kamu bukan diriku,” balas Vivian. Ia mulai melawan. “Kamu iblis.”

Sontak, gadis di dalam cermin itu tertawa geli. Seolah-olah Vivian baru saja membacakan lelucon. “Lalu, dari mana aku bisa tahu semua hal yang kamu alami, Nona Manis?”

“Pergi kamu dari kamarku!” Vivian mulai tidak sabar. Ia sangat tidak menyukai sikap gadis itu.

“Kamu tidak akan bisa mengusirku,” ujar Vivian dalam cermin. “Karena aku ada di dalam dirimu. Masa kamu mau mengusir dirimu sendiri?”

“Omong kosong!”

“Oh, mau aku lanjutkan ceritanya?” kata gadis itu kalem. Raut wajahnya tiba-tiba berubah jadi ramah. “Aku akan ingatkan betapa kamu membenci ayahmu, ibu tirimu, dan kakak tirimu. Kenapa? Kamu sebenarnya tidak mau ayahmu menikah lagi setelah ibumu meninggal. Tapi ayahmu tetap menikah dengan ibu tirimu. Sejak saat itu, kamu benci dengan ibu tirimu dan ayahmu karena mereka menikah. Padahal ibu tirimu baik sekali. Tapi kamu tidak pernah melihat kebaikannya karena hatimu sudah tertutupi oleh rasa benci.”   

Vivian merasakan jantungnya berdegup keras di dalam dadanya. Kali ini bukan karena kaget, melainkan karena amarah. Otaknya mulai memikirkan cara untuk mengusir gadis itu dari dalam cermin.

“Selanjutnya, kakak tirimu.” Gadis itu berbicara dengan intonasi yang dibuat-buat, sehingga terdengar semakin memuakkan di telinga Vivian. “Kamu pernah dilecehkan oleh kakak tirimu, ingat? Tapi kamu tidak berani bilang ke siapapun. Cuma aku yang tahu.” Ia memberikan penekanan ketika mengucapkan kata “aku”.

 “Apa tujuanmu mengatakan itu semua? Supaya aku ingat saja?” Vivian yang awalnya takut dengan gadis itu, kini merasa berani menghadapinya.

Gadis itu memiringkan kepalanya, ekspresinya mengejek, “Kamu belum mengerti juga, ya, Vivian? Hah, untuk apa aku tadi capek-capek cerita.”

“Katakan apa maumu.” Nada bicara Vivian terdengar galak, seolah menantang gadis dalam cermin itu untuk berkelahi.

“Balas dendam,” jawab gadis itu singkat.

Perasaan merinding kembali menjalari Vivian. Ia tidak menyangka akan jawaban itu. Namun, ia menanggapinya dengan tegas, ”Tidak mau.”

“Iya,” ucap Si gadis dengan tenang. “Kita akan memberi pelajaran kepada orang-orang yang dulu pernah menyakiti kita...”

“Kita? Katamu ‘kita’?” potong Vivian. “Aku tidak akan membalas perbuatan mereka, aku tidak mau. Aku sudah memaafkan perbuatan mereka.”

Gadis itu menertawakan ucapan Vivian. “Tidak mungkin. Kamu masih merasa sakit hati sampai detik ini, aku tahu itu. Aku tahu perasaanmu.”

“Yang ingin balas dendam itu kamu, bukan aku. Kamu cuma menghasutku.” Vivian mendengar suaranya meninggi karena marah. Ia melihat raut wajah gadis dalam cermin itu berubah menjadi marah.

“Dasar bodoh!” teriak Si gadis. “Tidak punya teman, membunuh ibunya sendiri, dibenci guru, tidak perawan lagi...”

“Diam!” Vivian melepas sepatu hak tingginya dan melemparkannya ke arah cermin. Cermin itu pecah seketika, bunyinya nyaring di seluruh ruangan. Potongan kacanya berhamburan kemana-mana. Vivian memalingkan wajahnya dari cermin, tangan kanannya refleks menutupi kepalanya untuk melindungi diri. Salah satu pecahan cermin melayang ke arahnya dan melukainya. Ia mengabaikan rasa perih di dekat pergelangan tangannya. Matanya memandang sekeliling untuk memastikan bahwa gadis dalam cermin itu sudah benar-benar lenyap. Ruangannya kosong dan hening. Hanya ada dirinya dan perabotan kamar. Namun seketika, punggungnya merinding. Dadanya naik turun menahan perasaan marah dan takut. Perlahan, ia memberanikan diri menoleh ke belakang.

Gadis di dalam cermin itu sudah berdiri di belakangnya. Perawakan dan pakaiannya sama persis seperti yang dipakai Vivian, kecuali sepatunya yang masih lengkap. Mereka terlihat seperti kembar identik. Gadis itu menatapnya dengan marah. Vivian melepas sepatunya yang sebelah, bangkit dari kursinya, dan berjalan mundur ke arah pintu kamar. Ia bersiap berbalik dan lari ketika Vivian dari dalam cermin itu berhasil mengejarnya.

Terlambat, si gadis dalam cermin mendorong Vivian hingga terjatuh di lantai, kacamatanya terlempar. Vivian merasakan ada pecahan cermin yang menusuk punggungnya, sementara si gadis dalam cermin itu berada di atasnya, berusaha mencekiknya. Tubuh gadis itu padat, sama seperti manusia normal.

“Percuma kamu pecahkan cermin itu, kamu tidak akan bisa mengusirku,” kata gadis itu dengan marah. Cara bicaranya terdengar mengerikan sekarang. “Kamu berniat balas dendam! Kamu akan melakukannya!”

Vivian meringis, kedua tangannya berusaha menahan tangan gadis itu. Lehernya sakit, ia mulai kesulitan bernapas. “Aku. Tidak. Mau,” Vivian tersengal. Ia mencungkil satu jari gadis itu dan menariknya. Si gadis dalam cermin menjerit kesakitan, membuka kesempatan bagi Vivian untuk lepas dari cengkeramannya. Ia langsung mendorong si gadis dalam cermin hingga terjatuh. Vivian cepat-cepat berdiri. Tangannya menyambar cutter di meja rias dan mengacungkannya ke arah “kembaran”nya.

Gadis itu menekuk tubuhnya di lantai, merintih kesakitan sambil memegangi jarinya. Vivian memperkirakan tulang jarinya patah.

“Biarkan aku membantumu. Kita balas perbuatan mereka,” kata gadis itu. Entah kenapa, Vivian merasa ada nada memelas di dalam suaranya. Meski begitu, Vivian tetap memegangi pisau cutter di tangannya dengan erat.

Si gadis dalam cermin bangun pelan-pelan, bibirnya menyeringai. “Kalau kamu membunuhku, kamu juga akan mati,” katanya. “Karena aku bagian dari dirimu.”

“Pembual,” ucap Vivian. Pakaian dan rambutnya terlihat berantakan karena bergulat di lantai tadi. “Biar kuberitahu, aku sudah tidak merasa bersalah lagi karena tidak bisa menolong ibuku. Aku tidak lagi membenci keluargaku, tidak lagi merasa menyesal, dan tidak lagi merasa sakit hati. Terima kasih karena sudah menyadarkanku.”

Gadis dalam cermin itu kembali menunjukkan senyumannya yang menyebalkan. “Bodoh. Kamu seharusnya membalas mereka supaya perasaanmu lega.”

Tidak, aku tidak mau, pikir Vivian. “Aku sudah memaafkan perbuatan mereka.”

“Tidak ada gunanya memaafkan. Mereka akan tetap memperlakukan kamu seperti itu, seperti sampah...”

“Diam!” Teriak Vivian. Sekarang ia benar-benar ingin menusukkan pisau cutter itu ke tubuh si gadis dalam cermin. Napasnya tersengal menahan rasa kesal. “Katamu, kamu ini tercipta dari perasaan takut, bersalah, sakit hati, dan penyesalanku. Aku tidak punya perasaan itu lagi sekarang. Seharusnya kamu juga hilang.”

Si gadis dalam cermin menggeleng, tersenyum sinis memandang pisau cutter di tangan Vivian. “Coba saja bunuh aku. Kamu juga akan ikut hilang bersamaku.”

Dengan langkah cepat, Vivian maju sambil menodongkan pisaunya. Sial, tangannya berhasil dicegah oleh gadis itu dan dibelokkan ke belakang punggungnya. Gadis itu berputar ke belakang tubuh Vivian dan menendangnya. Vivian menjerit. Ia jatuh dengan lututnya membentur lantai, tangan kirinya yang bebas berusaha menahan tubuhnya. Gadis itu memegangi tangan Vivian di belakang punggungnya, tepat di bagian luka gores kena pecahan cermin, sedangkan tangan kirinya mencengkeram leher belakangnya. Vivian tidak bisa bergerak. Si gadis tertawa, puas telah berhasil melumpuhkan musuhnya.

Dengan sisa tenaganya, Vivian mendorong tubuh dengan tangannya yang bebas. Gadis dalam cermin itu lengah karena mencoba mengambil pecahan cermin untuk melukai Vivian. Ia terpental ke belakang, potongan cermin melukai telapak tangannya. Vivian ikut jatuh ke belakang, tapi ia bergegas bangun. Selagi gadis itu mengumpulkan tenaganya, Vivian tidak buang-buang waktu. Ia menindih tubuh gadis yang sama persis dengannya itu, dan menghunjamkan pisau cutter ke dada kirinya. Di saat yang bersamaan, gadis itu juga menikam perut Vivian dengan potongan cermin yang sedari tadi digenggamnya.

Vivian memekik, bersamaan dengan lenyapnya gadis dalam cermin itu menjadi debu. Ia terperanjat menyaksikan tubuh gadis itu mendadak terburai dalam bentuk debu, yang kemudian diterbangkan oleh angin, hilang sepenuhnya.

Tiba-tiba ia tersadar, memperhatikan dirinya sendiri, dan segera mencabut potongan cermin dari perutnya. Tetapi darahnya sudah menetes banyak di lantai. Sambil mengerang kesakitan, ia mencoba bangun dan mencari pertolongan. Telinganya masih sempat mendengar suara ibu tirinya berteriak panik memanggil namanya sebelum ia jatuh kembali. Matanya juga masih sempat melihat wanita itu tergopoh masuk ke kamarnya sambil menangis, sebelum pandangannya mengabur dan gelap.

Bunda, maafkan aku. Kata-kata itu hanya terucap di dalam hatinya, di tengah-tengah sisa kesadarannya, sebelum ia akhirnya benar-benar pingsan. Di dalam ketidaksadarannya, ia bermimpi tentang dirinya dan gadis dalam cermin itu saling berpelukan.


Written by: Winda Prajaningtyas

Comments

Popular Posts