Cerpen: Perempuan di Sebelah Rumah

Beberapa minggu ini, aku gemar memperhatikan tetangga sebelah rumahku. Seorang perempuan muda berwajah manis dan berpenampilan sederhana. Ia baru saja pindah ke sebelah rumahku sebulan yang lalu. Awalnya, aku tidak peduli dengan perempuan itu. Namun, suatu malam, ketika aku terbangun karena mendengar suara teriakannya, aku menyadari bahwa ia membutuhkan pertolongan seseorang.

Aku kerap kali bertanya kepada ibuku tentang apa yang telah terjadi di rumah itu dan siapa sebenarnya perempuan yang baru pindah ke sana. Sayangnya, aku tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan hingga aku mendengar sendiri dari para pelanggan yang bergosip di warung nasi pecel ibuku. Ternyata, Heri, si pemilik rumah, sedang diburu oleh polisi karena kasus narkoba. Dari yang kudengar, sepertinya Mas Heri, begitu aku memanggilnya, bukan hanya pemakai, tetapi juga pengedar. Sekarang, buronan itu sedang bersembunyi di rumahnya yang berada tepat di sebelah rumahku. Sayang, waktu itu aku tidak mendengar mereka membicarakan perempuan yang turut tinggal bersama Mas Heri.

Kabar tersebut dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut hingga seluruh orang di kampungku tahu bahwa Mas Heri adalah seorang kriminal. Meskipun seisi kampung tahu hal itu, mereka lebih memilih untuk diam dan tidak ingin terlibat. Kupikir, ibuku pasti sudah mengetahuinya juga tetapi ia hanya tidak ingin memberitahuku.

Pernah suatu ketika, aku sedang membeli lauk untuk makan malam di warung Mak Yuni. Selain aku, ada juga beberapa orang tetangga yang aku kenal sedang menikmati santap malamnya di sana, atau hanya sekedar numpang ngopi. Tiba-tiba, dua orang lelaki berpakaian serba hitam dan berambut cepak menghampiri kami. Aku tidak mengenal satupun dari mereka. Kemudian, salah satu dari lelaki itu bertanya padaku, "Permisi, Mas. Kenal Pak Heri Sudibyo? Rumahnya di sebelah mana, ya?". Heri Sudibyo? Bukankah itu nama tetangga sebelah rumahku? Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan lelaki itu, Pakdhe Karto yang hendak membayar makanannya langsung menjawil tanganku dan berkata, "Maaf, tidak tahu, Pak."

"Ndak pernah dengar namanya, Pak," pelanggan lain menimpali. Dua lelaki itu agaknya kecewa dengan jawaban yang mereka terima. Tetapi mereka tidak langsung pergi dari warung itu. Pakdhe Karto menjawil tanganku sekali lagi, memberi isyarat supaya tidak usah memperhatikan dua lelaki itu terus-menerus.

"Mbok, ini tolong Si Fikar dilayani dulu," kata Pakdhe Karto kepada Mak Yuni, si pemilik warung. Tak lama setelah aku dan Pakdhe Karto meninggalkan warung Mak Yuni, dua lelaki itu juga pergi. Pakdhe Karto tinggal tidak jauh dari rumahku, sehingga kami pulang bersama. Ia beberapa kali menengok ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti kami. Setelah kami sampai di depan rumahku, Pakdhe Karto berbisik kepadaku, "Yang tadi itu polisi." Aku sedikit kaget mendengarnya. Meskipun setelah kuingat lagi penampilannya, masuk akal juga jika mereka polisi. Lelaki paruh baya itu melanjutkan, "Mereka mau menangkap Heri." Ia mengedikkan kepalanya ke arah rumah di samping rumahku. Aku hanya manggut-manggut dan berterimakasih karena ini pertama kalinya aku bertemu dengan polisi yang sedang mengejar buronan. Kalau saja tadi aku tidak bertemu dengan Pakdhe Karto, mungkin aku akan sudah membeberkan semua hal yang aku tahu tentang tetanggaku itu dan selanjutnya, aku akan dibawa ke kantor polisi sebagai saksi. Seperti warga lain di kampungku, aku juga tidak ingin berurusan dengan polisi.

Kami hampir berpisah ketika mendadak terdengar suara teriakan seorang perempuan. "Pakdhe!" panggilku. Aku ingin tahu siapa perempuan yang tinggal bersama Mas Heri di rumah itu. Mengapa aku sering mendengarnya berteriak dan menangis di malam hari? Namun, dari seberang rumahku, Pakdhe Karto hanya melambaikan tangannya dengan tampang galak, menyuruhku segera masuk ke dalam rumah. Aku yakin ia juga tahu siapa perempuan malang itu.

Karena rasa penasaranku, aku memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Esok harinya, aku mulai memperhatikan perempuan itu. Satu hal yang baru kusadari, ternyata kamarnya berada tepat di seberang kamarku dan hanya dipisahkan oleh pagar besi yang rendah. Pengamatan yang kulakukan menjadi lebih mudah karena aku bisa mengawasinya melalui jendela kamarku. Ketika tirai jendela kamarnya terbuka, aku bisa memandang sebagian ruangan kamarnya. Kamar itu kecil, dengan sebuah lemari kayu dan meja plastik di sampingnya. Dindingnya sudah mengelupas di beberapa tempat. Ruangan itu terlihat lembap dan aku tidak melihat dipan tempatnya tidur. Jadi, aku menebak ia tidur di lantai.

Terkadang aku suka menyapanya dari jendela kamarku. Ia akan memperlihatkan senyuman manisnya, dengan dua lesung pipit yang dalam, ketika ia membuka atau menutup tirai jendelanya dan melihatku di seberang kamarnya. Matanya hanya segaris ketika ia tersenyum. Kulitnya yang putih meta, sangat kontras dengan rambutnya yang hitam lurus sebahu, terlihat semakin mengkilap ketika tertimpa cahaya matahari

Aku sampai hafal keseharian perempuan itu. Tiap pagi, ia akan bangun pukul lima dan mandi. Kamar mandinya masih berada di dalam kamarnya yang sempit itu. Aku bisa mendengar suara guyuran airnya dari dalam kamarku. Lalu, ia akan keluar dari kamarnya. Aku mengira ia memasak, karena aku sempat mendengar suara gemerencik minyak dan aroma masakan yang tercium sesudahnya. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang ia lakukan di dalam rumah karena aku tidak mendengar suara apapun. Tetapi, aku akan kembali melihatnya pukul delapan di lantai paling atas rumah itu untuk mencuci dan menjemur pakaian. Pada tengah hari, aku akan melihatnya lagi sedang mengangkat jemuran dan langsung menyetrika pakaian-pakaian itu di kamarnya. Kegiatan itu dilakukannya hampir setiap hari, sehingga aku menyimpulkan bahwa ia adalah seorang asisten rumah tangga.

Aku jarang melihatnya keluar rumah kecuali sewaktu ia menyapu teras dan setiap hari Minggu. Aku pernah membuntutinya untuk mengetahui ke mana ia pergi setiap Minggu pagi. Mungkin ke pasar? Ternyata tebakanku sedikit melenceng sebab ia mampir ke kelenteng terlebih dahulu sebelum ke pasar.

Aku semakin mengkhawatirkan perempuan itu karena beberapa hari ini, aku jadi semakin sering mendengar tangisannya. Tidak hanya pada malam hari, tetapi juga siang hari. Pernah suatu malam, aku mendengar Mas Heri sedang memarahinya, kemudian perempuan itu memohon ampun. Apakah lelaki itu sudah menyakitinya, atau menyiksanya? Apa gerangan kesalahan yang ia perbuat sehingga Mas Heri memarahinya sampai ia menangis? Tidak bisakah lelaki itu menegurnya secara baik-baik? Hatiku perih setiap kali mendengar jeritan dan isak tangisnya. Aku sepertinya bisa mengerti bagaimana rasanya tinggal bersama dengan seorang pecandu narkoba. Pikiranku membayangkan betapa berat hari-hari yang dilaluinya. Ketika perempuan itu sudah berusaha sekuat tenaga bekerja membersihkan rumah, memasak makanan yang lezat untuk majikannya, tetapi yang ia terima justru amarah, makian, atau bahkan kekerasan fisik hanya karena sedikit saja kesalahan yang ia perbuat.

Rasanya aku ingin mendatangi rumah mereka dan meninju muka majikannya. Dasar laki-laki bejat! Aku ingin mengumpat di hadapannya seperti itu. Aku ingin menolong perempuan itu. Sungguh-sungguh ingin. Kalau bisa, aku ingin membawanya kabur sekalian dari rumah itu. Supaya ia tidak perlu bertemu lagi dengan majikannya yang kejam. Supaya aku tidak lagi mendengar tangis pilunya yang membuat hatiku nyeri.

Aku sudah pernah menceritakan hal ini kepada ibuku. Katanya, "Sudah ibu bilang, kan? Tidak usah ikut campur urusan orang lain!" Ah. Kenapa, sih, tidak ada orang yang mau membantuku? Seolah-olah semua orang menutup mata atas peristiwa yang terjadi di dekatnya. Apakah mereka tidak menyadari bahwa ada perempuan yang jelas-jelas membutuhkan bantuan? Aku sangat yakin, ibuku dan tetangga di sekitar rumahku juga mendengar jeritan dan tangisan perempuan muda itu hampir setiap malam. Aku heran, apa yang orang-orang ini pikirkan sehingga mereka membiarkan perempuan itu tinggal bersama majikannya begitu saja, menderita di rumah yang bagaikan neraka. Sedemikiankah tidak pedulinya mereka? Mengapa tidak ada yang mau menolong perempuan malang itu? Mengapa?

Akhir-akhir ini, aku jarang melihat Mas Heri di rumahnya. Mungkin ia sedang ke luar kota? Biasanya setiap pagi, ia akan meninggalkan rumah pukul tujuh, dengan mengendarai motornya. Sialan! Aku selalu ingin memukul wajahnya setiap kali melihatnya. Aku memang tidak pernah tahu apa yang sudah ia perbuat pada perempuan itu, namun suara yang kudengar hampir setiap hari dari rumah mereka jelas sekali menunjukkan bahwa perempuan itu diperlakukan secara kasar. Setidaknya, begitulah yang bisa kusimpulkan dari hasil pengamatanku.

Dengan tidak adanya Mas Heri di rumah, aku jadi merasa sedikit lega karena tidak akan ada orang yang bersikap semena-mena lagi kepada perempuan itu. Tidak akan lagi terdengar suara tangisan, teriakan, dan jeritan dari dalam rumah itu, setidaknya untuk sementara waktu. Aku bertanya-tanya, kira-kira kemana Mas Heri pergi? Barangkali aku bisa menanyakannya pada perempuan itu. Oh, ya, aku baru ingat kalau aku belum sempat mengajak perempuan itu bicara. Maklum, ia sangat jarang keluar rumah. Kalau aku mampir ke rumahnya, ibuku pasti tidak akan mengizinkanku. "Jangan suka ikut campur urusan orang!" selalu itu yang dikatakannya. Hmm, mungkin aku akan mengajaknya bicara lewat jendela kamarku.

Maka, aku duduk sendirian di samping jendela kamarku, menunggu perempuan itu membuka tirai jendela kamarnya dan kemudian aku akan menyapanya seperti yang biasa kulakukan setiap hari. Sayangnya, hari ini tirai jendelanya tertutup seharian. Ada apa dengannya? Aku hanya melihatnya sekilas ketika mencuci pakaian di lantai atas. Jujur, aku merindukan senyumnya, dan dua lesung pipitnya yang khas. Baiklah, kalau aku tidak bisa menyapanya lagi lewat jendela kamarku, aku mungkin bisa menemuinya di depan kelenteng setiap Minggu pagi.

Aku terlalu khusyuk memikirkannya sampai-sampai tidak mendengar suara pintu kamarku diketuk dengan serampangan.

"Ya?" Aku menjawabnya. Ibuku tidak pernah mengetuk pintu kamarku dengan kasar begitu. Aku merasa bingung saat melihat orang-orang berseragam berdiri di depan pintu kamarku. Ibuku menangis sambil meracau di belakang mereka. Seorang tetangga yang kutahu namanya Mak Tijah sedang berusaha menenangkannya. Mau apa para polisi itu kemari? Apakah mereka akan memeriksaku sebagai saksi atas kasus narkoba yang menimpa Mas Heri?

"Apakah benar Saudara yang bernama Zulfikar?" tanya salah seorang polisi.

"Ya, benar," jawabku.

"Mari ikut kami ke kantor polisi."

Tanganku tiba-tiba diborgol dan aku digiring ke luar menuju mobil yang terparkir di halaman rumahku. Aku sempat mengelak dan memanggil ibuku, meminta penjelasan dan pembelaan. Apa salahku, Bu? Kenapa orang-orang ini menangkapku? Aku tidak mau berurusan dengan polisi! Aku terus-menerus melihat ke arah ibuku hingga ia jatuh lemas karena pingsan. Sungguh, mataku tidak kuat melihat ibuku menangis sampai pingsan. Beruntung Mak Tijah segera menangkapnya. Aku mendengar wanita tua itu bertanya kepada polisi, suaranya bergetar menahan tangis, "Dia tidak akan dipenjara, kan, Pak? Kasihan ibunya, Pak."

"Tidak, Bu. Zulfikar tidak akan dipidana," kata polisi itu. "Ia akan kami bawa untuk direhabilitasi."

Seketika itu, aku tahu siapa yang melaporkanku ke polisi.

Comments

Popular Posts